Selalu ada pelajaran yang bisa kita ambil dari setiap perjalanan. Sejauh dan sedekat apapun itu. Gunung Lawu, yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, adalah salah satu tempat yang akan memberikan kita pelajaran tentang seberat beratnya perjuangan hidup

Ketika mendaki gunung yang memiliki tinggi 3.265 mdpl tersebut melalui jalur Cemoro Sewu, kita akan menemukan banyak sekali warung di setiap pos. Warung-warung tersebut tidak cuma menjadi kabar baik bagi para pendaki karna itu artinya mereka tak perlu membawa bekal logistik yang terlalu banyak

Bahkan tanpa membawa bekal logistik pun kita tak akan merasa kelaparan, asalkan ada uang di dompet

Ya, jalur pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu memang berbeda dengan beberapa jalur pendakian gunung lain. Di sepanjang jalur pendakian, mulai dari base camp hingga pos terakhir kita akan menemukan banyak sekali bangunan sederhana semi permanen yang yang biasa digunakan penduduk lokal untuk mengais rejeki dari para pendaki. Aneka rupa dagangan mereka jajakan di warung-warung sederhana itu. Nasi, gorengan, mie rebus, minuman hangat. Sama seperti pegadangan-pedagang pada umumnya, tujuan utama mereka hanya satu: mendapatkan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan hidup

Para pedagang makanan di Gunung Lawu biasanya akan menggelar dagangan pada hari Jum’at, Sabtu dan Minggu di mana pada hari-hari tersebut jumlah pendaki biasanya akan meningkat

Tidak cuma pedagang yang memiliki bangunan warung saja yang mencoba mencari rejeki tambahan di Gunung Lawu. Saat mendaki Gunung Lawu beberapa waktu lalu, saya juga bertemu dengan ibu-ibu yang membawa bakul berisi nasi serta gorengan. Dengan ramah dan lembut, ibu-ibu itu menawarkan dagangan mereka di Pos 3. Beberapa pendaki tampak menyantap nasi bungkus yang dibeli dari sang ibu. Dalam hati, saya merasa senang sekaligus sedih

Senang karna usaha ibu-ibu untuk mendapatkan rejeki di Gunung Lawu tidak sia-sia. Sedih karna saya tahu bahwa sang ibu harus mengeluarkan banyak energi untuk mencapai Pos 3 yang kalau dikalkulasi dalam satuan jam setidakya membutuhkan waktu sekitar 2 s/d 4 jam. Hampir setara dengan perjalanan pulang pergi Solo-Jogja. Sementara saya tahu, nominal keuntungan yang didapatkan oleh sang ibu tak begitu banyak. Mungkin hanya cukup untuk membayar tagihan listrik atau membeli tabung oksigen 3 kg

Saya tahu, banyak orang lain di luar sana yang bisa menghasilkan uang jauh lebih banyak dari yang dihasilkan sang ibu dengan usaha yang secara fisik tidak sekeras sang ibu. Duduk manis di meja kantor dengan segelas kopi yang bahkan tak dibuat sendiri

Sementara di lain kesempatan, saya sering melihat orang-orang mengeluh karna tak punya pekerjaan. Mereka bilang cari kerja sekarang susah. Lalu, apakah yang dilakukan oleh sang ibu ini bukan sebuah pekerjaan?

Well, konteksnya mungkin berbeda. Kita mengharapkan pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas kita sebagai manusia terdidik. Pekerjaan impian yang (mungkin) membuat kita bahagia saat menjalaninya. Yang ingin saya tekankan disini adalah kebiasaan kita mengeluh, bukan soal pekerjaan. Bahkan pada kentayaannya masih banyak orang yang tetap mengeluh meski dia sudah mendapat pekerjaan. Seolah dia adalah orang paling menderita di dunia

Melihat perjuangan sang ibu yang rela menahan lelah melangkahkan kaki melewati jalur pendakian Gunung Lawu yang berbatu dan curam dengan membawa beban yang tidak ringan seharusnya kita malu pada diri kita sendiri. Dengan fisik yang lelah, sang ibu tetap tersenyum menawarkan barang dagangan mereka. Tanpa raut keluh sama sekali. Sementara kita dengan mudahnya mengeluh bahkan untuk hal yang sangat sepele. Kehabisan kuota internet, misalnya

Di luar sana, mungkin banyak motivator yang memberikan ceramah tentang perjuangan hidup. Menyarakankan kita untuk tidak mudah mengeluh dalam menghadapi persoalan hidup. Tapi apa yang dilakukan oleh ibu-ibu penjual nasi di Gunung Lawu saya raya bisa lebih berbicara banyak dari apa yang dikatakan oleh motivator manapun. Mereka telah mengajarkan kita, bahwa hidup tidaklah mudah

 

Featured image