Kota Solo mengawali tahun 2017 dengan beberapa festival budaya. Mulai dari Grebeg Sudiro di akhir Januari lalu hingga yang terbaru adalah Festival Jenang 2017. Festival Jenang tahun 2017 ini merupakan penyelenggaraan yang ke-6. Festival ini pertama kali diadakan tahun 2012. Ada apa, sih di Festival Jenang?.

Yah, namanya juga Festival Jenang. Ya sudah pasti ada jenang. Namun kamu mungkin tak akan menyangka kalau di Indonesia ternyata ada banyak sekali jenis jenang. Bahkan ada sebuah yayasan bernama Yayasan Jenang Indonesia yang tugasnya semacam menjaga kelestarian jenang sebagai salah satu kuliner Nusantara agar tidak punah. Karna, saat ini sudah ada beberapa jenis jenang yang hanya tinggal nama.

To be honest, sejak pertama kali diadakan tahun 2012 saya belum pernah sekalipun berkunjung ke Festival Jenang. Sempat beberapa kali ingin datang tapi ada saja kendalanya. Tahun ini pun masih abu-abu antara datang atau tidak. Sampai sebuah pesan WhatsApp dari Mas Halim membuat saya meyakinkan diri untuk datang. Agak males juga sih kalau harus datang sendiri. Haha

Festival Jenang 2017 diadakan hari Jumat pagi tanggal 17 Februari 2017, bertepatan dengan hari ulang tahun Kota Solo yang ke-272. Mas Halim mewanti-wanti saya untuk datang sepagi mungkin supaya bisa dapat lebih banyak jenang. Dia bahkan menyarankan saya untuk membawa wadah kalau ingin membawa pulang jenang.

But, bro. Festival Jenang tahun ini ramainya naudzubillah. Sepanjang koridor Ngarsopuro yang dijadikan venue acara penuh dengan manusia. Padahal (kata Mas Halim) tahun lalu tak seramai ini. Di bagian paling ujung bagian selatan ada pertunjukan seni dari berbagai daerah Indonesia. Maju sedikit kita sudah harus berhadapan dengan keramaian manusia dengan tujuan yang — pada pagi itu — sama: antri jenang.

Salah satu stand jenang di Festival Jenang 2017

Pagi itu, di sepanjang trotoar Koridor Ngarsopuro dipenuhi oleh stand-stand dari seluruh kelurahan di Kota Solo serta sebagian kecil Sukoharjo. Di bagian jalan raya terbentang karpet yang nampaknya dimaksudkan untuk para pengunjung guna menikmati jenang sambil lesehan. Masing-masing stand di festival ini memajang jenang hasil olahan ibu-ibu PKK di masing-masing kelurahan. Mulai dari jenang yang sudah familiar seperti jenang sumsum hingga jenang yang, jangangkan nama, bentuknya saja baru pertama kali saya lihat.

Jenang sendiri memiliki tempat yang cukup penting bagi masyarakat Jawa. Dalam upacara tertentu, jenang hampir selalu ada dalam ubo rampe. Entah sebagai pelengkap atau sebagai sajian utama.

Jenang-jenang yang dipajang di masing-masing stand tadi nantinya akan dibagikan secara gratis kepada para pengunjung. Tapi nanti dulu. Pengunjung harus menunggu proses pembukaan yang akan dilakukan oleh walikota Solo, Pak Rudi. Selain dari stand-stand yang sudah standby untuk membagikan jenangnya, pengunjung juga akan mendapat jenang dari panggung utama.

Panggung utama sendiri berada persis di depan Pasar Triwindu. Di panggung ini sudah tersaji beraneka ragam jenang yang telah ditata sedemikian rupa oleh panitia. Panjang sajian kira-kira (duh berapa meter ya, lumayan panjang pokoknya). Nantinya, jenang-jenang yang sudah ditata dengan cantik ini akan menjadi rebutan setelah upacara pembukaan oleh Pak Walkot selesai.

Festival Jenang sendiri sebenarnya menjadi semacam pesta ulang tahun kota Solo. Pada acara ini, dilakukan acara potong tumpeng sebagai simbol hari jadi Kota Solo. Baru setelah itu, masyarakat diajak untuk berpesta dengan menikmati sajian jenang.

Acara Festival Jenang sendiri berlangsung beberapa jam mulai dari jam 7 pagi. Puncak acaranya dimulai dari pawai budaya dari Stadiun Sriwedari. Pawai budaya ini diikuti oleh daerah-daerah dari Indonesia.

Tadinya, saya berharap bisa menikmati banyak jenang. Minimal 3 atau 4 jenis jenang. Dan semuanya harus baru. Apa daya, saya cuma dapat sepincuk (satu porsi). Itupun jenang sumsum yang sudah lumayan sering saya makan. Antrian manusia yang mirip konser membuat saya hanya bisa pasrah 🙁

Down to earth. Pejabat makan jenang

Kalaupun ada minus dari festival ini adalah tidak adanya tempat sampah yang disediakan oleh panitia sehingga para pengunjung mau tak mau harus membuang sampah sembarangan (panggil komunitas Earth Hour dan Trashbag Community). Di akhir acara memang ada panitia yang memunguti sampah. Tapi menurut saya itu kurang mendidik masyarakat.

Selesai mengikuti acara Festival Jenang saya tak langsung pulang. Mumpung masih jam setengah 11, saya menyempatkan diri mampir ke Pasar Triwindu untuk melihat barang-barang antik. Saya juga sempat sarapan gudeg di Wedang Beras Kencur Bu Hadi di kompleks Mangkunegaran.