Bulan Mei lalu salah seorang teman mengajak saya untuk mengikuti acara city tour yang diadakan oleh komunitas Putra-Putri Solo. Salah satu agenda kegiatan itu adalah mengunjungi kompleks Kampung Batik Laweyan. Kampung Batik Laweyan sendiri merupakan salah satu sentra batik di kota Solo, selain Kampung Batik Kauman.

Jujur saja saya belum pernah benar-benar berkunjung ke Kampung Batik Laweyan. Kalau sekedar lewat saya sudah sangat sering. Tapi berkunjung? Sejauh ini belum pernah sampai saya mengikuti acara yang diadakan oleh Putra-Putri Solo tadi.

Apa yang saya dapatkan dari acara itu benar-benar melebihi ekspektasi. Awalnya, saya sempat bingung melihat susunan rumah-rumah di kompleks Kampung Batik Laweyan di mana antara pintu yang satu dengan pintu yang lain saling tehubung. Di Kampung Batik Laweyan, sangat sulit untuk membedakan mana pintu masuk dan pintu keluar sebuah rumah. Pun demikian. Akan sangat sulit untuk membedakan ini rumahnya siapa dan itu miliknya siapa. Itu karena antara rumah satu dengan rumah yang lain saling berhubungan, hanya dipisahkan oleh pintu-pintu. Saya sempat membayangkan bagaimana susahnya kurir JNE jika harus mengantarkan paket ke salah satu rumah di Kampung Batik Laweyan. Saya tak yakin mereka benar-benar bisa menyampaikan paket sesuai tujuan.

Barulah ketika diajak mengunjungi sebuah — sebut saja rumah batik — saya sedikit paham tentang konsep rumah di Kampung Batik Laweyan melalui pemaparan dari sang pemilik. Pintu yang saling terhubung antara satu dengan yang lain itu ternyata ada maksudnya. Dulu, pintu itu digunakan oleh para gerilyawan untuk melarikan diri dari kejaran penjajah. Katanya, jika seorang gerilyawan sedang dikejar oleh tentara penjajah dan masuk ke salah satu pintu di Kampung Batik Laweyan, ia bisa mengelabui sang tentara dengan mengganti baju di salah satu rumah. Ketika ia keluar dari salah satu rumah mengenakan pakaian yang berbeda, para tentara yang mengejar tadi akan tertipu.

Selain mengunjungi salah satu rumah batik, kegiatan lain yang kami lakukan di kompleks Kampung Batik Laweyan adalah mengelilingi gang-gang kecil nan sempit yang kemudian saya sebut sebagai labirin.

Selama perjalanan melewati labirin ini saya jadi tahu “wujud asli” dari Kampung Batik Laweyan. Selama ini saya hanya tahu Kampung Batik Laweyan dari wajah luarnya saja melalui galeri-galeri batik yang ada di pinggir-pinggir jalan utama, tanpa mengetahui kalau Kampung Batik Laweyan sejatinya juga merupakan kompleks perkampungan biasa di mana masyarakat hidup sebagaimana di tempat lain. Melihat kondisi rumah-rumah di sana, saya yakin kalau strata sosial juga berlaku.

Satu hal yang saya pikirkan selama perjalanan melewati labirin ini adalah bahwa suatu saat saya harus menyempatkan untuk mengulangi perjalananan ini seorang diri. Pasti akan sangat menyenangkan menikmati me time di tempat yang penuh dinding-dinding tua serta jendela-jendela kusam seperti yang saya lihat waktu itu. Dan itulah yang saya lakukan hari Rabu (13 Septembar 1989) kemaren.

Titik awal dan akhir perjalanan yang saya lakukan juga sama persis seperti dengan beberapa bulan lalu. Saya mengawali perjalanan dengan memasuki sebuah gang sempit di dekat jembatan kecil yang memisahkan wilayah Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. Sebuah gang kecil di dekat Langgar Merdeka menjadi akhir perjalanan sore itu. Sama persis dengan yang saya lakukan beberapa bulan lalu bersama teman-teman peserta city tour.

Awalnya sempat ada keraguan ketika saya benar-benar ingin melakukan perjalanan seorang diri. Bukannya apa-apa. Gang-gang yang akan saya lewati nanti akan terdiri atas beberapa percabangan. Kalau salah belok, bisa-bisa saya dituduh pencuri karna salah masuk rumah. Supaya tidak terlihat aneh di mata penduduk lokal, saya bergaya layaknya seorang turis. Dengan backpack serta kamera yang senantiasa siaga. Dengan begini, saya berharap mereka akan langsung ngeh bahwa yang sedang lewat ini adalah seorang pelancong.

Di awal perjalanan, saya disambut oleh pemandangan seorang bapak-bapak yang sedang nonton pertandiangan Timnas U-18 vs Brunei U-18 di sebuah pos ronda. Ada sebuah gelas plastik di depan bapak itu yang saya yakin isinya adalah teh. Tangan kanannya memegang sebatang rokok sementara matanya hampir tak pernah berpaling dari televisi tabung di depannya. Santai betul hidup bapak ini. Koyo ora ndue utang. Kayak gak punya hutang.

Sama seperti saya, si bapak juga cukup cuek ketika saya membidiknya dengan kamera. Tak lama-lama, saya langsung melanjutkan perjalanan. Melewati gang-gang sempit kembali.

Sebenarnya, tujuan utama saya sore itu adalah untuk hunting foto jendela-jendela dan pintu-pintu tua. Kebetulan saya sedang mencari stok foto-foto vintage untuk Better Photos. Beberapa hari lalu saya juga sudah berkeliling di sekitar kompleks Pasar Gede untuk tujuan yang sama. Namun, hanya satu foto saja yang berhasil saya dapat saat itu.

Tak perlu waktu yang terlalu lama untuk mengelilingi labirin Kampung Batik Laweyan. Tak sampai sejam saya sudah selesai, tanpa tersesat. Perjalanan saya sore itu sempat diwarnai dengan sebuah kejadian yang menggelikan. Di salah satu gang sempit yang saya lewati, saya “memergoki” sepasang muda-mudi yang sedang mojok (dalam arti yang sesunggunya). Tapi mereka tidak sedang bercumbu. Melainkan sedang adu argumen. Saya jadi kikuk sendiri. Pura-pura tidak lihat (padahal jelas-jelas lihat), saya melewati sepasang kekasih ini tanpa ada sepatah kata pun keluar dari mulut.

Ada beberapa foto yang berhasil saya dapatkan dari perjalanan singkat sore itu. Tidak terlalu banyak. Setidaknya bisa menambah stok untuk Better Photos. Kalau ada yang berminat, foto-foto dengan resolusi yang lebih tinggi sudah saya upload ke Better Photos. Bagi saya, mengelilingi kompleks bersejarah seperti Kampung Batik Laweyan adalah sebuah kesendangan tersendiri.