Seseorang boleh saja mengunjungi tempat yang sama berkali-kali, dengan orang yang sama. Namun, selama dilakukan pada waktu yang berbeda, saya yakin pengalaman yang didapatkan tidak akan sama.

Itu jugalah yang membuat saya tidak alergi jika diajak berkunjung ke tempat yang sama. Meskipun tempat itu sudah pernah saya kunjungi sebelumnya.

Liburan Natal tahun ini saya memilih untuk menghabiskan waktu di Gunung Lawu. Ini bukan pertama kalinya saya mendaki gunung yang berada di perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur tersebut. Sudah tiga kali saya mendaki Gunung Lawu. Dan kesannya tak pernah sama. Karna gunung ini punya banyak cerita.

โ€œTanggal 24 ke Lawu lewat Cemoro Kandang. Sama Beny, ikut ga?โ€

Begitulah SMS dari Mas Ajik ketika mengajak saya mendaki. To the point, tanpa basa-basi. Saya tak langsung mengiyakan ajakan tersebut karna takut tak bisa berangkat. Saya bilang pada Mas Ajik kalau saya akan mengabarinya lagi dua hari sebelum berangkat.

Sesuai janji, tanggal 22 saya mengabari Mas Ajik kalau saya bisa berangkat. Maka jadilah tanggal 24 Desember 2016 lalu saya kembali mendaki Gunung Lawu, untuk yang keempat. Saya mendaki bersama Mas Ajik dan Beny, dua teman yang saya temui ketika pertama kali mendaki Gunung Lawu 2 tahun lalu. Kali ini kami akan mendaki via Cemoro Kandang. Kami tidak akan mendaki sampai puncak, hanya sampai Pos 1 dan akan camping di sana. Atau lebih tepatnya numpang tidur karna di Pos 1 jalur Cemoro Kandang ada sebuah bangunan yang bisa digunakan para pendaki untuk bermalam.

Seperti yang sudah-sudah, kami melakukan pendakian pada malam hari. Jam 9 malam kami baru sampai di base camp Cemoro Kandang. Tidak terlalu banyak pendaki yang naik via Cemoro Kandang malam itu. Di base camp saya hanya menjumpai satu rombongan yang terdiri dari sekitar 6 orang.

Meski terdengar sangat klise, saya termasuk orang yang setuju bahwa tujuan dari mendaki gunung sebenarnya bukanlah puncak. Mendaki gunung bagi saya adalah tentang mendekatkan diri dengan alam, yang pada akhirnya akan membuat saya semakin menyadari kekuasaanNya.

Hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam perjalanan dari base camp ke Pos 1. Kami memulai pendakian sekitar jam 10 malam dan sekitar jam 11 kami sudah sampai di Pos 1. Setibanya di Pos 1 kami langsung membongkar carrier masing-masing, mengeluarkan isinya lalu membuat minuman hangat. Di sisa malam, kami ngobrol tanpa tema sampai ngantuk. Lagu-lagu lawas dari Dewa 19 yang terlantun dari Nokia miliki Mas Ajik menemani obrolan kami.

Langit di atas Pos 1

Pos 1 jalur Cemoro Kandang berada pada ketinggian 2.167 mdpl. Sebuah gubuk sederhana namun kokoh dapat kita temui di pos ini. Gubuk ini tampaknya sengaja didirikan sebagai tempat istirahat para pendaki. Pos ini turut menjadi korban ketika terjadi kebakaran tahun 2014 lalu. Bangunan gubuk ini menghadap ke timur. Di depannya adalah sebuah lembah yang mengalir sebuah sungai. Namun kita tak bisa melihat sungai ini karna tertutup oleh vegetasi. Di aliran sungai tersebut terdapat sebuah air terjun yang suaranya terdengar cukup nyaring. Lembah ini merupakan pembatas wilayah propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Aliran sungai di lembah ini menuju ke jembatan di dekat gapura perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah di dekat Cemoro Sewu.

Naik sedikit dari Pos 1 kita akan mendapatkan pemandangan seperti ini

Persis di depan gubuk ini ada sebuah warung. Ketika saya tiba pada malam hari, warung ini sudah tutup karna hanya buka sampai sore saja. Setelah buka keesokan harinya, barulah saya tahu bahwa warung ini dimiliki oleh seorang bapak. Saya taksir usianya sekitar 65 tahun. Saya tak sempat bertanya nama si bapak, namun kami ngobrol cukup banyak. Dan dari beliaulah saya tahu beberapa hal tentang Gunung Lawu yang sebelumnya tidak saya tahu.

Saat sedang leyeh-leyeh di Pos 1, saya beberapa kali melihat seeokor burung. Kata Si Bapak, burung ini namanya Burung Jalak Gading. Meski termasuk binatang liar, burung ini sama sekali tidak takut manusia. Bahkan burung ini sempat masuk ke warung Si Bapak, melenggang dengan santai di atas meja. Pun ketika Mas Ajik dan Beny memberinya potongan roti. Burung ini juga dengan senang hati memakannya.

Saya dan Mas Ajik

Dari cerita Si Bapak pemilik warung barulah saya tahu kenapa burung tersebut terlihat seperti burung rumahan, meski sejatinya ia adalah burung liar. Katanya, burung ini merupakan burung piaraan dari penjaga Gunung Lawu. Kata Si Bapak, burung ini sering menjadi penunjuk arah pada momen-momen tertentu. Misalnya ketika ada pendaki yang hilang. Ia akan memberi tahu keberadaan korban hilang kepada tim pencari. Pun ketika ada pendaki yang tersesat. Burung ini katanya juga akan memberi petunjuk kepada pendaki yang sedang tersesat tersebut. Mungkin itulah sebabnya kenapa burung ini sering terlihat berada di jalur pendakian.

Jika kebetulan kamu bertemu dengan burung ini saat mendaki Gunung Lawu via Cemoro Kandang, jangan coba-coba untuk menangkapnya. Apalagi berniat membawa pulang sebagai burung piaraan. Itupun jika kamu tak ingin ada apa-apa di jalan. Begitu kata Si Bapak.

Si Bapak pemilik warung

Lagian siapa yang mau membawa memelihara burung mistis seperti itu. Saya sih no.

Sayangnya, saya tak sempat memotret burung ini ๐Ÿ˜€

Well. Cerita Si Bapak mungkin saja benar, mungkin juga bisa salah. Wallahu A’lam. Toh cerita-cerita semacam ini merupakan hal yang sangat lazim di setiap gunung. Karna pada dasarnya setiap gunung itu memang memiliki kearifan lokalnya masing-masing. Dan sebagai tamu, kita wajib menghargai setiap kearifan lokal serta peraturan tak tertulis yang ada di sebuah gunung.