Konon katanya batik adalah identitas Bangsa Indonesia. Maka ketika negara tetangga mengklaim batik sebagai miliknya, Indonesia tiba-tiba berubah menjadi sosok Bruce Wayne dalam cerita The Dark Knight Rises yang marah besar ketika tahu Bane akan menghancurkan Gotham.

Singkat cerita, Bruce Wayne alias Batman berhasil menghentikan rencana jahat Bane dan mengembalikan kedamaian di Gotham, kota yang karna alasan tertentu begitu ia cintai. Cerita yang sama juga terjadi dengan Indonesia. Melalui UNESCO, batik akhirnya diakui dunia sebagai warisan budaya asli Indonesia. Semua pun senang.

Entah sudah berapa kota di Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai Kota Batik. Tak terkecuali Solo. Solo bahkan punya festival tahunan bernama Solo Batik Carnival yang salah satu tujuannya adalah untuk memperkuat branding kota ini sebagai Kota Batik.

Solo Batik Carnival atau biasa disingkat SBC pertama kali diadakan tahun 2008, tahun di mana saya memulai petualangan hidup baru di Kota Bengawan. Sebagai pendatang baru, tentu waktu itu saya tak tahu menahu tentang SBC. Boro-boro SBC, tidak nyasar sampai ke kampus saja sudah syukur alhamdulilah. Baru di tahun ke-3 saya menghadiri event SBC, atas ajakan teman. Setelah itu, saya mulai sok yes dengan menggembar-gemborkan event ini di Twitter. Saya turut mengompori beberapa kenalan di Bandung untuk main ke Solo ketika event SBC berlangsung. And I did it!. Kompor mleduk tepat sasaran. HAHA

DSC_1915

Tahun 2012, dua orang teman dari Bandung itu benar-benar datang untuk menyaksikan SBC. Salah satu dari mereka adalah orang yang dulu pernah punya tempat khusus di hati saya. Meski sang waktu akhirnya menunjukkan bahwa jalan hidup kita tidak sama, tapi saya tak pernah menyesali apa yang terjadi. Karna dari peristiwa masa lalu lah kita bisa punya cerita. Dari masa lalu pula manusia terbentuk.

Seingat saya, tahun 2012 adalah terakhir kalinya saya menyaksikan acara SBC. Bukan karna takut terjebak nostalgia, sama sekali bukan. Hanya saja waktu yang tidak memungkinkan.

Dan di tahun 2017 ini, tahun ke-10 penyelenggaraan SBC, saya kembali menyaksikan acara yang dulu pernah menghadirkan momen bahagia dalam hidup saya.

SBC 2017 diadakan selama dua hari, Jumat 14 Juli dan Sabtu 15 Juli. Acara pawai sendiri — yang merupakan acara puncak — diadakan hari Sabtu. Pawai dimulai dari kawasan Stadion Sriwedari dan berhenti di Benteng Vastenburg.

DSC_1986

Sabtu itu, cuaca Kota Solo panasnya bukan main. Untuk beberapa saat, suasana kota menjadi sangat semrawut karna beberapa jalan utama yang terhubung langsung ke Jl. Slamet Riyadi — jalan utama di Solo — ditutup. Banyak kendaraan terpaksan mencari alternatif lain, melewati gang-gang sempit. Macet pun tak bisa dihindari. Sedikit naif, saya juga menjadi bagian dari kesemrawutan sesaat itu. Bertemankan panas dan debu, di antara muka-muka masam yang sebal karna jalannya harus terganggu akibat acara yang bagi mereka mungkin tidak penting itu.

Tujuan saya Sabtu itu adalah Benteng Vastenburg. Saya memilih untuk menyaksikan pawai dari sini karna sadar diri. Saya berangkat sedikit terlambat. Kalau memaksa menyaksikan pawai di sekitaran titik start, besar kemungkinan saya tak akan dapat apa-apa kecuali kenangan kampret tahun 2012.
DSC_1923

Setelah melewati kemacetan yang cukup menguji kesabaran, saya dan kedua teman akhirnya sampai ke Gladak. Pawai belum juga dimulai tapi lautan manusia sudah memenuhi jalan Slamet Riyadi di kawasan Patung Gladak hingga Benteng Vastenburg. Aneka rupa manusia bisa kita lihat di sini. Pedagang es, remaja dengan tongsis yang selalu stand by, embak-embak dengan alis buatan setebal jari tengah (seriously) hingga fotografer dengan kamera yang selalu siap siaga. Sambil menunggu rombongan pawai datang, saya menyusun strategi bagaimana caranya supaya bisa mengambil gambar mereka nantinya. Dengan jumlah manusia yang sekian banyaknya, sangat sulit untuk menerobos ke bagian depan. Yang sudah berdiri di barisan depan pun belum tentu aman karna bisa saja disuruh mundur oleh petugas demi memberi ruang bagi peserta pawai.

DSC_1830

……

Sayup-sayup suara drum band mulai terdengar di kejauhan. Rombongan pawai rupanya sudah datang. Semakin dekat, suara itu semakin jelas di telinga. Sayapun mulai mencari-cari spot terbaik untuk mengabadikan momen ini. Sia-sia. Postur saya yang mungil tak memungkinkan untuk mengambil gambar meski sudah mengangkat kamera tinggi dengan posisi jinjit. Menerobos ke depan jelas tak mungkin karna barisan di depan saya cukup rapat. Akhirnya saya memutuskan untuk lari ke depan Benteng Vestenburg saja, tempat pemberhentian pawai. Keputusan yang tidak terlalu buruk karna dari sini ternyata saya bisa mendapatkan sudut yang lebih layak untuk mengambil gambar.

Seperti yang sudah-sudah, formasi peserta pawai SBC 2017 sudah disusun sedemikan rupa. Di bagian depan adalah pasukan drum band anak-anak sekolah. Diikuti oleh, aduh gimana ya nyebutnya, pokoknya rombongan laki-laki dengan badan tegap dan mengilap macam atlit binaraga. Lihat saja gambar di bawah ini dan silakan deskripsikan sendiri.

DSC_1944

Pasukan drum band dan “binaraga” tadi menjadi semacam pengawal untuk peserta SBC. Setelah kedua kelompok pasukan tadi berlalu, peserta SBC satu-satu mulai terlihat. Saya cukup terkejut ketika melihat sebuah spanduk bertuliskan “Jember Fashion Carnaval” muncul di barisan paling depan peserta SBC. Ya, SBC tahun ini rupanya juga turut dimeriahkan oleh Jember Fashion Carnaval. Sebuah festival tahunan yang katanya adalah inspirator SBC. Ada juga dari The Caruban Carnival, festival sejenis dari Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Entah kolaborasi ini sudah ada sebelumnya, yang jelas saya baru tahu kemaren :p.

Setelah mendapat spot yang cukup layak saya mulai menyamankan diri supaya bisa mengambil gambar para peserta SBC dengan lebih leluasa. Sambil tetap mengabadikan momen, sesekali saya mengedarkan pandang ke sekitar. Ramai.

DSC_1995

Seandainya setiap hari kita bisa seperti ini. Berkumpul dengan suasana yang bahagia tanpa harus saling nyinyir dan menghujat. Alangkah indahnya.

Tiba-tiba saja hari mulai beranjak gelap. Beberapa fotografer mulai mengaktifkan lampu flash untuk mendapatkan pencayahaan yang lebih memadai. Bagi saya sendiri, mengabadikan acara semacam ini adalah pengalaman yang sama sekali baru. Foto-foto yang saya ambil masih kacau dan mayoritas under exposure.

Lima tahun lalu, di tahun 2012, saya menyaksikan dia yang sedang memegang kamera. Mengabadikan momen dengan kilatan blitz yang tak jauh berbeda dengan yang saya lihat hari ini. Sesekali, ia mengambil gambar saya ketika saya sedang tak melihatnya.