Tempat apa yang biasa kamu kunjungi untuk menikmati sore? Kalau kamu sedang di Semarang atau malah tinggal di Semarang dan sekitarnya, mengunjungi Rawa Pening mungkin bisa jadi ide yang menarik. Kenapa harus Rawa Pening?

Rawa Pening merupakan sebuah danau rawa yang berada di pinggiran Kabupaten Semarang. Danau ini berada di antara 4 kecamatan di Kabupaten Semarang yakni Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Danau ini juga cukup dekat dari Kota Salatiga. Lokasi Rawa Pening sangat unik sekaligus strategis untuk hal pemandangan. Danau ini berada di sebuah cekungan antara Gunung Ungaran, Gunung Merbabu dan Gunung Telomoyo. Maka bukanlah hal yang mengherankan jika pemandangan di sekitar danau ini terlihat sangat indah. Terutama saat sore hari ketika cuaca sedang cerah

Rawa Pening akan bisa kita lihat saat dalam perjalanan ke Semarang atau Salatiga. Jika dari Solo, sebelum sampai ke area perkebunan kopi di Banaran kita akan melewati sebuah jembatan. Jika mengarahkan pandangan ke kiri kita akan mendapati pemandangan berupa danau yang dipenuhi oleh tanaman enceng gondok. Itulah Rawa Pening

Tentu saja jembatan itu bukanlah spot terbaik untuk menikmati pemandangan di Rawa Pening. Ada beberapa tempat lain yang memang sudah disediakan untuk para wisatawan yang ingin menikmati keindahan Rawa Pening. Salah satu yang populer adalah di Desa Asinan, Kecamatan Bawen

Rawa Pening sendiri cukup identik dengan enceng gondok. Sebagian besar bagian pinggir Rawa Pening tertutupi oleh tanaman yang sering dianggap gulma tersebut. Meski sejatinya enceng gondok memang gulma, namun warga sekitar banyak yang memanfaatkannya sebagai bahan utama untuk membuat kerajinan tangan yang lebih bernilai

 

Apa yang bisa dilakukan di Rawa Pening?

Sama halnya seperti wisata danau lain. Kita bisa menikmati keindahan Rawa Pening dengan menyusuri danau. Di sekitar Rawa Pening ada banyak perahu yang disewakan oleh para penambak ikan. Ada juga perahu yang memang sudah didesign untuk keperluan wisata yang bisa menampung beberapa orang. Jika ingin mendapatkan pengalaman yang lebih “intim” kamu bisa menyewa perahu dayung tradisional. Mendayung perahu tersebut untuk mengelilingi danau akan menjadi sebuah pengalaman yang tentu saja menyenangkan

Yang menjadikan Rawa Pening berbeda dari danau-danau lain (selain tanaman enceng gondok) adalah lokasinya yang dikepung oleh tiga gunung sekaligus (Ungaran, Merbabu, Telomoyo) sehingga pemandangan yang didapatkan juga tentu saja lebih indah. Banyak muda-mudi yang datang ke danau ini pada sore untuk menikmati suasana sore sambil menikmati secangkir kopi, memancing atau – sekali lagi — menyusuri danau. Ada juga fotografer yang sengaja datang ke sana untuk hunting foto

Legenda Rawa Pening

Keberadaan Rawa Pening ini diiringi oleh cerita legenda. Menurut cerita, dulu ada sepasang suami istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta. Mereka tinggal di sebuah desa bernama Ngasem. Sekian tahun membina rumah tangga namun keduanya tidak dikarunai keturunan. Karna merasa kasihan kepada istrinya, Ki Hajar akhirnya meminta ijin untuk pergi bertapa di Gunung Telomoyo. Nyai Selakanta mengiyakan permintaan tersebut

Setelah beberapa bulan bertapa, apa yang diharapkan akhirnya datang. Nyai Selakanta hamil seorang anak. Namun, apa yang dilahirkan oleh Nyai Selakanta sungguh diluar dugaan. Alih-alih bayi manusia, ia melahirkan bayi naga. Walaupun begitu, Nyai Selakanta tetap merawat bayi naga tersebut. Dia memberi nama anaknya Baru Klinthing. Suatu ketika, Nyai Selakanta memerintahkan Baru Klinthing — yang berwujud naga — untuk menyusul ayahnya yang masih bertapa di Gunung Telomoyo. Sebagai bukti untuk perkenalan dengan sang ayah, Baru Klinthing diminta untuk membawa sebuah pusaka berupa tombak

Setelah berhasil menemukan tempat sang ayah bertapa di sebuah gua, Baru Klinthing mengenalkan diri. Tentu saja awalnya sang ayah tidak percaya bahwa Baru Klinthing adalah anaknya. Namun, setelah menunjukkn pusaka bekal dari sang ibu sang ayah akhirnya percaya. Ia kemudian meminta Baru Klinthing untuk melingkari Gunung Telomoyo sebagai pembuktian terakhir. Setelah percaya bahwa Baru Klinthing adalah anaknya kemudian Ki Hajar — ayah Baru Klinthing — memerintahkan Baru Klinthing untuk bertapa di Bukit Tugur. Ia mengatakan kepada Baru Klinthing bahwa dengan bertapa di bukit tersebut ia akan berubah menjadi manusia suatu hari nanti

Dan benar, Baru Klinthing akhirnya berubah menjadi manusia namun dalam bentuk yang buruk rupa. Suatu hari, ia berjalan ke sebuah desa bernama Pathok. Saat ia datang, warga di desa tersebut sedang melakukan sebuah pesta dalam rangka sedekah bumi. Dengan badan sempoyongan karna kelaparan, Baru Klinthing meminta makanan kepada warga sekitar namun ditolak karna badannya yang berbau amis

Untungnya ada seorang nenek yang berbaik hati kepada Baru Klinthing. Kebetulan, nenek tersebut punya nasib yang sama dengan Baru Klinthing yakni tidak diterima oleh masyarakat desa Pathok. Merasa bahwa warga desa memiliki sikap yang angkuh, Baru Klinthing menantang untuk mencabut sebuah lidi yang ia tancapkan di tanah. Tak ada satupun dari warga yang mampu mencabut lidi tersebut. Akhirnya, Baru Klinthing sendirilah yang mencabut lidi tersebut dan muncullah air yang begitu melimpah akibat cabutan lidi tersebut. Muntahan air itulah yang kini kita kenal dengan Rawa Pening. Setelah peristiwa ini Baru Klinthing kembali berubah menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening

 

Tampilkan peta

 

Featured image