Langit Jogja pada tanggal 19 November terlihat cerah. Padahal biasanya — berdasarkan timeline Twitter — Jogja selalu hujan akhir-akhir ini. Mungkin semesta tahu kalau malam harinya saya akan nonton Ngayogjazz sehingga Ia bermurah hati untuk tidak menurunkan hujan.

Sehati dengan Jogja, langit Kota Solo juga sama cerahnya. Meski ada sedikit mendung, tapi nampaknya tak berpotensi hujan. Saya berangkat jam 4 sore via kereta Prameks. Sementara saya berangkat, brocuk Agfian sudah siap-siap untuk menjemput di Stasiun Lempuyangan.

Soal musik jazz, saya adalah anak kemaren sore. Ketertarikan saya pada musik ini sebenarnya berdasarkan dari rasa penasaran.

Iya, saya penasaran kenapa banyak sekali festival jazz di Indonesia. Sudah begitu, festival jazz sering dikonsep berbeda dengan festival musik lain. Jazz Gunung, misalnya. Festival ini diadakan di panggung terbuka di kawasan Gunung Bromo. Panggungnya dihias dengan instalasi bambu yang membuat festivalnya menjadi unik.

ngayogjazz-6

Belakangan, di Karimunjawa juga ada festival jazz dengan konsep yang tak kalah unik yakni Karimunjawa Sunset Jazz. Di festival ini penonton bisa menikmati musik jazz di pinggir pantai dengan latar bekalang pemandangan sunset.

Ngayogjazz yang diadakan di Jogja juga hadir dengan konsep yang tak kalah unik. Bahkan, kalau boleh berpendapat, ini adalah konsep festival musik paling unik yang ada di Indonesia. Saya bilang begitu karna belum pernah sebelumnya saya mendengar ada festival musik yang melibatkan warga lokal.

Seperti yang kita tahu, sebagian besar masyarakat sudah kadung punya stereotip bahwa musik jazz adalah musik yang berat dan tidak catchy. Kita butuh mikir untuk bisa menikmati musik ini. Saya bisa bilang bahwa stereotip itu tak sepenuhnya benar. Musik jazz tak beda jauh dengan musik-musik lain. Hanya saja, jenis musik ini memang lebih nyaman kalau disaksikan secara live. Percayalah, sekali nonton pertunjukan jazz, kamu pasti akan ketagihan. Konser musik jazz adalah konser yang penuh improvisasi.

ngayogjazz-4

Ngayogjazz berusaha untuk membawa musik jazz agar lebih merakyat dan merubah stereotip masyarakat. Itulah sebabnya sejak diadakan pertama kali tahun 2007, festival ini selalu dilaksanakan di kawasan pedesaan. Dan nomaden alias berpindah-pindah. Selain itu, festival ini juga selalu melibatkan warga lokal untuk menjadi panitia. Jadi konsepnya benar-benar kolaboratif.

Tahun 2016 ini Ngayogjazz diadakan di padukuhan Kwagon, Godean, Sleman. Tahun ini adalah pertama kalinya saya nonton Ngyogjazz. Seperti yang saya bilang di awal, saya adalah anak kemaren sore di jazz.

ngayogjazz-3

Sejak siang, padukuhan Kwagon dan daerah di sekitarnya sudah dipenuhi oleh panggung-panggung dan beberapa set pelengkap festival. Total ada 7 panggung yang masing-masing namanya adalah:

  • Panggung Paris
  • Panggung Krepus
  • Panggung Garuda
  • Panggunng Wuwung
  • Panggung Kripik
  • Panggung Kodok
  • Panggung Morando

Masing-masing panggung berjarak sekitar 400 s/d 500 meter. Beberapa di antaranya berada di halaman rumah warga. Ada dua panggung yang lokasinya berdekatan dengan kuburan desa. Iya, kuburan. Kebayang nggak gimana “serunya” nonton festival musik dekat kuburan? :))

Dengan banyaknya jumlah panggung yang ada, tentu saja jumlah musisi yang tampil juga banyak. Masing-masing panggung diisi oleh sekitar 10 musisi yang bergantian menghibur para pengunjung sejak siang hingga malam. Beberapa musisi yang tampil di Ngayogjazz 2016 antara lain Monita (Indonesian Idol), Tohpati serta Fariz RM.

ngayogjazz-1

Tadinya saya mikir kalau festival ini full jazz. Setelah melihat beberapa perform, ternyata festival ini tidak hanya menyajikan musik jazz saja. Di panggung Krepus (panggung yang akan digunakan Tohpati) sempat ditampilkan musik keroncong kolaborasi antara musisi lokal dengan dua musisi asal Inggris yang saya lupa namanya. Katanya, dua misisi bule yang merupakan pasangan suami istri itu datang ke Indonesia dengan cara naik sepeda ontel. Keduanya sudah tinggal di Solo selama 5 bulan untuk belajar musik tradisional di kampus ISI sembari menyiapkan diri untuk perform di Ngayogjazz. Mereka baru pertama kali tampil di Ngayogjazz.

Ngayogjazz 2016 terlihat sangat ramai. Semua orang dari berbagai kalangan datang dengan penuh suka cita. Area parkir yang disediakan oleh panitia sampai tak muat menampung kendaraan para pengunjung. Banyak kendaraan yang akhirnya terpaksa parkir di jalan-jalan desa. Di antara sekian banyak pengunjung, saya sempat melihat beberapa warga lokal yang turut datang menyaksikan acara. Bagaimana saya bisa membedakan warga lokal dan non nokal?. Foto di bawah ini bisa menjadi jawabannya 🙂

ngayogjazz-5

Tadinya, saya janjian untuk ketemuan sama Mas Hanif dari insanwisata.com. Namun, di suasana seramai ini, mencari seseorang rasanya seperti mencari batu akik di Pantai Parang Tritis. Which mean, kemungkinannya kecil sekali. WhatsApp juga tidak banyak membantu karna beberapa saat setelah sampai lokasi festival, hp saya kehabisan battery.

Tapi, semesta memang sedang baik pada saya. Di panggung Krepus saya ketemu dua orang teman dari Info Gunung Chapter Jogja, Mas Awan dan Mas Bedul.