Dalam beberapa hal, masyarakat Solo dan Jogja punya banyak kesamaan. Termasuk dalam hal tongkrongan. Yang sering main ke Jogja tentu sudah sering dengar istilah angkringan. Yakni semacam warung gerobak yang menyajikan menu-menu rakyat macam tempe goreng, bakwan, sate usus, nasi kucing dan teman-temanya.

Angkringan juga sangat familiar di Solo. Hanya saja dengan sebutan yan berbeda. Di Solo, angkringan lebih sering disebut dengan wedangan (kadang juga hik). Wedangan berasal dari kata “wedang” yang artinya minuman panas. Ditambah akhiran “-an”. Kalau diartikan secara harfiah wedangan artinya kurang lebih menikmati minuman hangat. Bisa teh, kopi atau jahe. Namun, wedangan memiliki arti yang lebih luas. “Wedangan” kadang juga digunakan sebagai awalan nama tempat. Misalnya “Wedangan Pak Mul”. Artinya adalah tempat minum wedang milik pak mul. Jadi, selain sebagai predikat, kata “wedangan” juga bisa digunakan untuk menyatakan tempat.

Saya pertama kali kenal dengan wedangan saat menjadi mahasiswa tahun 2008. Hampir setiap malam saya selalu makan di wedangan karna memang inilah jenis tempat makan yang harganya paling ramah untuk kantong mahasiswa seperti saya. Sekali makan, saya tak pernah menghabiskan uang lebih dari 10.000. Bahkan di awal-awal kuliah dulu saya tak jarang hanya menghabiskan kira-kira 6.000 ribu saja. Itu sudah termasuk es teh dan dua bungkus nasi kucing. Plus gorengan tentu saja.

DSC_0772

Beberapa waktu belakangan, dunia perwedangan sudah mengalami banyak perubahan. Seiring dengan majunya jaman, sudah semakin banyak wedangan yang dikemas dengan sentuhan modern, menyesuaikan jiwa anak muda. Saat ini, sudah banyak sekali tempat nongkrong semacam kafe yang menyajikan menu-menu ala wedangan. Harganya tentu saja sedikit lebih mahal jika dibandingkan wedangan konvensional yang masih mengandalkan gerobak.

Sampai saat ini saya masih menjadi konsumen setia wedangan. Kadang di wedangan konvensional, kadang di wedangan ala kafe. Tergantung keadaan kantong.

DSC_0786

Ngomong-ngomong soal wedangan konvensional, saya dan teman-teman punya satu wedangan langganan yang sampai saat ini masih sering kami kunjungi. Sekedar untuk nongkrong atau memang niat makan. Seperti kebanyakan wedangan konvensioanl lainnya, wedangan ini sebenarnya tidak punya nama. Namun kami biasa menyebutnya Hik Seksi. Lokasinya tak terlalu jauh dari kampus saya dulu. Kenapa bisa disebut Hik Seksi?

Adalah teman saya yang memberikan nama itu. Kami sudah kenal dengan Hik Seksi saat masih berada di semester awal kuliah. Tak jauh dari lokasi Hik Seksi ada sebuah tempat kos khusus cewek. Nah dulu, banyak sekali penghuni kos itu yang sering makan di Hik Seksi dengan pakaian-pakaian gemes. Saya bahkan cukup sering “makan bareng” dengan penghuni kos yang hanya mengenakan celama di atas dengkul. Atas alasan itulah salah satu teman saya kemudian menyebut wedangan ini dengan nama Hik Seksi, sampai sekarang. Nama pemiliknya sendiri sebenarnya adalah Pak Mul. Menurut informasi yang saya dengar, beliau adalah ketua RT.

DSC_0782

Secara umum, apa yang dijual oleh Hik Seksi tak jauh beda dengan wedangan-wedangan lain. Di wedangan ini kita bisa mendapatkan menu-menu gorengan mulai dari tempe, tahu, bakwan hingga tape. Ada juga macam-macam baceman, sate kikil, sate usus, telur puyuh serta jajanan lain yang sulit untuk disebutkan satu-satu. Namun, ada satu menu andalan di Hik Seksi yang tak semua wedangan punya, yakni mie rebus dan mie goreng special.

Sebenarnya, mie rebus dan mie goreng yang dijual di Hik Seksi hanyalah mie instant biasa. Namun, cara pengolahan yang tidak biasa membuat rasa yang dihasilkan oleh Hik Seksi menjadi berbeda. Percayalah, kamu hanya akan percaya dengan ini kalau kamu sudah mencobanya sendiri.

Saya sudah pernah beberapa kali mengajak teman dari luar kota untuk mencoba mie goreng di Hik Seksi. Sejauh ini hasilnya tak pernah fail, mereka selalu mengaku ketagihan.

Mie instant di Hik Seksi dimasak dengan tambahan telur serta sayuran sawi dan kubis. Lalu ditambah dengan taburan bawang goreng setelah mie siap untuk disajikan. Saya pernah mendapat bocoran tentang cara membuat mie instant ala Hik Seksi dan mencoba mempraktekkan tapi hasilnya tetap beda.

DSC_0790

Dari jaman semester awal kuliah hingga sekarang sudah lulus, rasa mie instant di Hik Seksi tak pernah berubah. Salah satu kunci kenapa rasa mie isntant di sana selalu sama adalah tentang pemilihan merk. Untuk mie rebus, Pak Mul selalu memilih merk Supermie sedangkan untuk mie goreng, Pak Mul menjatuhkan pilihan pada Indomie.

Frekuensi kunjungan saya ke Hik Seksi sudah tak sesering dulu. Dulu, saya bisa sampai 3 kali makan mie goreng di Hik Seksi dalam waktu seminggu. Sekarang boro-boro. Sebulan sekali saja sudah “wah”. Kesibukan teman-teman membuat saya tak bisa seenak jidat untuk mengajak mereka nongkrong di sana. Belum lagi ada seorang teman yang “tega” mem-blacklist Hik Seksi. Gara-garanya dia pernah ke sana seorang diri. Kebetulan waktu itu Hik Seksi sedang rame sehingga Pak Mul lupa dengan apa yang dipesan oleh teman saya (oh iya, Pak Mul jualan bersama istrinya. Kadang juga dibantu sama dua anak gadisnya). Teman saya sampai reorder hingga tiga kali sebelum mendapatkan apa yang ia pesan. Katanya, ia harus menunggu hingga sejam sebelum mendapatkan mie goreng dan teh yang ia pesan.

Sejak saat itulah teman saya ini tak pernah mau kalau diajak nongkrong atau makan di Hik Seksi. Kejadian ini pulalah yang menjadi salah satu faktor penyebab berkurangnya frekuensi kunjungan saya ke Hik Seksi :(.

Well, biar bagaimanapun, mie instant di Hik Seksi tetap juara!