Saat ada seorang millennial menonton acara musik keroncong, mungkin banyak yang mengernyitkan dahi sambil membatin “hah, keroncong?. Bukannya itu musiknya orang tua, ya?”

Tadinya saya juga mikir begitu. Bukan cuma karna kebanyakan audiens keroncong adalah orang yang – maaf – sudah berumur. Tapi juga fakta bahwa musisi keroncong mayoritas adalah orang-orang yang sudah berkeluarga. Kita tahu, ada dua orang di Indonesia yang dianggap sebagai maestro keroncong: Hj. Waljinah dan alm. Gesang

Mereka berdua bukanlah musisi yang ketika muda mengawali karir sebagai penyanyi pop dan berpindah haluan ke keroncong ketika tua. Mereka seperti sudah disiapkan oleh semesta untuk menjadi penyanyi keroncong sejak kecil

Beberapa tahun lalu ketika menghadiri acara Solo Keroncong Festival di Ngarsopuro saya baru ngeh bahwa penyanyi keroncong ternyata bukan hanya orang tua. Ketika itu, bahkan ada anak-anak seusia SMA yang turut menyumbangkan lagu di panggung. Dan kemaren, di Solo Keroncong Festival 2016 yang diadakan di halaman Benteng Vantenburg saya semakin ngeh dan yakin bahwa musik keroncong adalah musik lintas generasi, bukan hanya milik orang tua saja

Saya datang ke acara festival tanggal 15 Mei sekitar jam 20.30. Ketika itu, MC sedang berada di atas panggung membawakan acara sementara penampil berikutnya sedang mempersiapkan diri. Saya lupa nama kelompok musiknya. Satu yang saya ingat, sebagian besar anggotanya adalah mahasiswi kampus ISI Surakarta. Dari situlah semakin ditegaskan bahwa musik keroncong bukan hanya untuk kaum tertentu saja (Generasi X)

skf20162

Satu-satunya keraguan bahwa keroncong adalah musik lintas generasi barangkali adalah soal penampilan. Saat manggung, hampir semua musisi keroncong mengenakan pakaian resmi. Yang wanita pakai kebaya. Yang lelaki pakai jas atau kemeja dengan dandanan necis. Kesannya jadi cenderung kaku dan enggak banget untuk anak muda. Tapi mungkin memang di situlah yang membedakan musik keroncong dengan musik lainnya. Pemilihan kostum akan menguatkan identitas musiknya. Sama seperti penyanyi heavy metal yang kebanyakan bertato dan berambut gondrong

Acara Solo Keroncong Festival 2016 kemaren sendiri berlangsung selama dua hari, 14 – 15 Mei 2016 di halaman Benteng Vantenburg. Banyak nama-nama besar yang tampil di situ seperti sang diva keroncong, Hj. Waljinah, Djaduk Feriyanto serta Butet Kertarajasa

IMG-20160515-WA0010

Saya nonton di hari kedua. Cukup kecewa karna tak bisa menyaksikan Waljinah yang terkenal dengan lagu Walang Kekek nya. Kekecewaan saya sedikit terobati karna masih bisa menyaksikan Djaduk Feriyanto yang tampil bersama Sinten Remen. Lagu-lagu daerah seperti Sajojo — yang di-medley dengan lagu-lagu lain — hingga pop modern dari Sindentosca (Kepompong) mereka bawakan dengan aransemen keroncong yang enak didengar dan ditonton. Di bagian akhir, Djaduk bahkan mengajak semua penonton untuk berdiri dan bergoyang untuk menunjukkan bahwa musik keroncong juga bisa goyang dan tidak kaku

Saya tak sampai selesai menonton acara festival karna teman sudah nggriseni ngajak pulang. Lagipula acaranya sepertinya akan sampai pagi sehingga saya juga merasa bahwa sudah waktunya untuk pulang. Sekitar jam 11 malam saya meninggalkan festival dengan kesan yang positif terhadap musik keroncong

Sekedar informasi, Solo Keroncong Festival merupakan festival musik tahunan yang diadakan oleh Pemkot Solo. Kalau kamu termasuk penggemar keroncong, datanglah ke Solo saat berlangsung event tersebut untuk mendapatkan pengalaman liburan yang lebih berkesan