Dalam buku diary-nya, Su Hok Gie pernah menuliskan sebuah kalimat yang ia kutip dari seorang filsuf Yunani “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda”

Entah hanya kebetulan atau memang sudah takdir, kebahagiaan itu benar-benar didapatkan oleh Gie. Ia meninggal dalam usia yang masih muda ketika mendaki Gunung Semeru. Gie meninggal satu hari sebelum merayakan ulang tahunnya yang ke-27

Untuk kamu yang bukan mahasiswa pecinta alam, mungkin bertanya-tanya, Su Hok Gie itu siapa sih?

Su Hok Gie merupakan salah satu aktivis yang sangat menentang rezim Orde Lama dan Orde Baru. Ia adalah sosok yang sangat idealis. Di masanya, ia dikenal sebagai aktivis yang sering kontra dengan pemerintah. Gie merupakan seorang etnis Tionghoa alumni sastra UI. Ialah merupakan salah satu sosok dibalik berdirinya Mapala UI. Sebuah organisasi mahasiswa yang isinya adalah para pecinata alam. Mapala UI dianggap sebagai pelopor mapala-mapala lain di Indonesia. Itulah sebabnya kenapa hampir semua mahasiswa yang bergabung dalam mapala kenal dengan Su Hok Gie. Beberapa mungkin juga menganggap Gie sebagai seorang pahlawan

Semasa hidup, Gie sangat produktif dalam menulis. Artikelnya banyak dimuat di beberapa media di Indonesia kala itu seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Selain menulis artikel untuk media, Gie juga sering menuliskan keresahannya di buku diary. Buku harian Gie kemudian diterbitkan tahun 1983 dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Gie menjadi mahasiswa UI pada medio 1962 – 1969. Setelah menyelesaikan studinya pada Jurusan Sejarah di Fakultas Sastra UI ia menjadi dosen di almamaternya

Mandalawangi Gunung Pangrango

Mandalawangi Gunung Pangrango

Foto: http://himoov-adventure.blogspot.com

Sebagai seorang pecinta alam, Gie tentu saja suka mendaki gunung. Dari sekian gunung yang pernah ia daki, Gunung Pangrango di Jawa Barat sepertinya adalah yang paling ia suka. Dalam beberapa puisinya ia sering menyertakan kata “mandalawangi” yang merupakan sebuah padang rumput yang dipenuhi oleh bunga edelweis di Gunung Pangrango. Ia bahkan membuat sebuah puisi khusus untuk gunung ini

Gie mungkin termasuk seseorang yang suka baper. Meskipun dikenal sebagai sosok yang sering kontra dan mengkritik pemerintah, ia sering mendadak melankolis ketika sedang di gunung. Terbukti dengan banyaknya puisi yang ia buat saat mendaki gunung.

Pada tahun 2005, kisah tentang Su Hok Gie diangkat ke layar lebar oleh Riri Riza. Ada beberapa puisi karya Gie yang dibacakan dengan apik oleh Nicholas Saputra yang memerankan tokoh Gie

Sue Hok Gie meninggal di Gunung Semeru akibat menghirup gas beracun. Ia meninggal bersama salah seorang temannya, Idhan Dhantanvari Lubis. Gie meninggal pada tanggal 16 Desember 1969. Tepat satu hari sebelum merayakan ulang tahun ke-27. Dia dimakamkan di tempat yang sekarang menjadi Museum Taman Prasasti di Jakarta Pusat

Beberapa puisi karya Su Hok Gie

 

Mandalawangi-Pangrango

Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang-jurangmu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya” tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah dan hadapilah

dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu

aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup

 

Sebuah Tanya

“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”

(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”

(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”

 

Tentang kemerdekaan

Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan
Yang tak pernah berakhir,
Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
Dan adik-adikku di belakang
Tapi satu tugas kita semua,
Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis….
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan samua;
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita
Adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita smua adalah
Manusia terbebas

 

Cinta

Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati disisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tau

Mari sini, sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanam apa-apa
Kita tak pernah kehilangan apa-apa

 

Featured image