Traveling kini telah menjadi semacam gaya hidup. Apalagi dengan semakin mudahnya seseorang untuk membagikan fot0-foto tempat keren di sosial media. Saling “pamer” foto kini seperti menjadi budaya di kalangan anak muda

Kita yang masih di kisaran usia 20-an memang disarankan mencari pengalaman hidup sebanyak-banyaknya demi meminimalisir penyesalan di hari tua. Salah satu caranya adalah dengan traveling

Meski demikian, bukan berarti bisa traveling tanpa pertimbangan. Kita tetap harus bersikap realistis dengan kondisi yang ada. Jika harus dimasukkan dalam jenis kebutuhan, traveling harusnya masuk dalam daftar kebutuhan tersier. Artinya, kita bisa memenuhi kebutuhan tersebut jika kebutuhan primer dan sekunder telah terpenuhi

Traveling memang dianjurkan selagi kita masih muda. Tapi, tetap ada pertimbangan-pertimbangan yang harus kita ambil. Saat sedang traveling pun kita juga tidak bisa seenaknya sendiri karna apa yang kita lakukan akan berkaitan dengan orang lain

So, sebelum traveling kita harus memperhatikan beberapa hal terlebih dulu

 

Tahu skala prioritas

“Racun” untuk segera traveling memang bertebaran dimana-mana. Saat menonton acara tv atau video di YouTube tentang jalan-jalan, saat melihat fofo-foto perjalanan di Instagram yang diupload oleh seorang teman, atau saat melihat update status Path teman yang sedang berada di tempat tertentu. Temptation is everywhere

Tapi, sebelum memutuskan untuk traveling kita harus tahu kondisi riil kita terlebih dulu. Sudah saatnya kah bagi kita untuk traveling?

Seperti yang sudah disinggung diatas, traveling merupakan kebutuhan tersier. Dalam teori ekonomi, kebutuhan tersier bisa dipenuhi apabila seseorang telah memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Bukan sebaliknya. Soal kebutuhan, setiap orang bisa beda-beda. Kembali ke diri kita sendiri. Kita harus bisa menentukan mana yang menjadi prioritas utama dan mana yang menjadi prioritas kedua, ketiga dan seterusnya. Kuncinya adalah: be wise

 

Sudah melaksanakan semua kewajiban

Traveling akan terasa lebih menyenangkan jika kita tidak memiliki beban apapun. Syaratnya, kita harus menyelesaikan semua kewajiban kita terlebih dahulu. Sebagai manusia sosial, kita semua tentu punya kesibukan. Mahasiswa sibuk dengan tugas dari dosen, karyawan sibuk dengan tugas dari atasan, bos sibuk dengan tanggung jawab kepada bawahan

Tentu akan sangat tidak nyaman jika kita sedang liburan tapi masih diganggu oleh urusan pekerjaan atau kuliah.

Akan lebih menyenangkan lagi jika kita menganggap traveling sebagai bonus atas semua yang telah kita lakukan dan capai. Itu adalah salah satu cara untuk mengapresiasi diri

 

Tidak apatis

Salah satu hal paling menyedihkan dari semakin populernya kegiatan traveling sebagai gaya hidup adalah sikap apatis para traveler. Terutama sikap apatis terhadap lingkungan dan alam. Di hampir semua tempat wisata kita akan dengan mudah menemukan aksi-aksi vandal yang merusak pemandangan. Belum lagi sampah yang dibuang sembarangan yang membuat lingkungan menjadi tidak asri

Bahkan, ada pula traveler jahil yang merusak sarana umum untuk warga di sekitar tempat wisata tertentu. Misalnya sumber air bersih. Jika sikap apatis dan anarkis semacam itu masih dipertahankan, lebih baik tidur saja di rumah

 

Boleh alay asal tidak kebangetan

Agak geli juga kalau melihat seorang teman yang keseringan upload foto di Instagram di suatu tempat tertentu dengan berbagai pose. Misalnya, ada seseorang yang baru saja turun dari Semeru lalu mengupload sebuah foto dengan pose memandang danau Ranu Kumbolo. Besoknya lagi, ia mengupload foto baru dengan pose sedang minum kopi di dekat Ranu Kumbolo. Kemudian besoknya lagi ia mengupload foto baru dengan pose sedang menggendong carrier, masih di Ranu Kumbolo. Begitu seterusnya sampai ia traveling lagi dan mendapatkan foto-foto baru

Oke, ngeksis di sosial media memang tidak salah. Tapi, nggak se-alay itu juga. Alay itu nggak salah. Asal wajar