Akomodasi penginapan menjadi hal paling krusial saat hendak bepergian, tak peduli apakah penginapan yang kita pilih adalah hotel bintang lima atau penginapan sederhana ala backpaker.

Saat ini, sudah banyak situs online serta aplikasi mobile untuk melakukan pemesanan hotel, namun menemukan hotel dengan harga yang sesuai dengan isi dompet adalah tugas yang cukup rumit. Untungnya, saya gak perlu kesulitan lagi untuk membeli tiket, karena sudah ada pencarian harga termurahnya pakai Wego.

Sayangnya, itu tidak saya lakukan saat liburan ke Dieng beberapa waktu lalu. Alih-alih booking hotel jauh-jauh hari sebelumnya, saya dan teman-teman baru mencari penginapan ketika sudah tiba di Dieng. Alhasil, waktu kami pun terbuang. Saya baru ngeh kalau ternyata saya bisa mencari penginapan via Wego beberapa minggu setelah pulang dari Dieng.

Ngomong-ngomong soal Dieng, ada beberapa destinasi yang saya dan teman kunjungi waktu itu. Salah satunya adalah Gunung Prau. Ada satu hal unik tentang Dieng yang baru saya ketahui ketika saya mendaki Gunung Prau. Yakni tentang posisi dapur beberapa rumah di sepanjang track awal jalur pendakian Gunung Prau via Patak Banteng.

Beberapa rumah yang saya lewati memiliki dapur yang berada di bagian depan rumah, atau setidaknya di bagian yang mudah untuk diakses. Ternyata, ada cerita dibalik fakta unik ini. Konon, warga Dieng gemar menjamu para tamu di dapur untuk mengusir hawa dingin yang kerap di menusuk di kawasan mereka.

Informasi itu saya dapatkan dari salah seorang teman yang kebetulan ikut mendaki Gunung Prau. Karna kurang yakin, akhirnya saya cari-cari informasi tambahan di internet. Dan ternyata teman saya benar. Warga Dieng memang suka menjamu para tamu di dapur dengan tungku yang dibiarkan menyala sebagai penghangat.

Fakta unik lain yang baru saya ketahui saat berkunjung ke Dieng adalah adzan yang dikumandangkan antara waktu ashar dan maghrib. Sekitar jam setengah 5 sore. Adzan ini adalah sebuah kebudayaan di Dieng yang digunakan untuk memberi tahu para warga yang sedang berada di ladang bahwa sebentar lagi maghrib, waktunya pulang.

Dua cerita unik tadi hanyalah bagian kecil dari sebuah perjalanan menyenangkan beberapa bulan yang lalu. Sebuah perjalanan untuk menginjakkan kaki di titik tertinggi di Datara Tinggi Dieng yakni Gunung Prau. Ya, Gunung Prau adalah titik tertinggi di Dataran Tinggi Dieng. Sebuah tempat yang sering disebut sebagai tanahnya para dewa. Tanah yang mistis namun memiliki sejuta keindahan. Bagi saya, Dieng adalah sebuah pesona.

Perjalanan saya ke Gunung Prau terjadi pada bulan November tahun 2017 lalu. Masih di musim penghujan sehingga pemandangan yang saya dapatkan di puncak tidak se-istimewa ketika musim kemarau. Terlalu banyak kabut yang mengganggung pemandangan. Landscape Gunung Sindoro-Sumbing yang biasanya terlihat begitu keren di Instagram hari itu tidak terlalu istimewa karna tertutup kabut. Tapi pemandangan di puncak Gunung Prau bukan hanya Gunung Sindoro-Sumbing.

Puncak Gunung Prau adalah tanah berbukit yang luas. Dipenuhi oleh padang rumput serta bunga-bunga chamomile, membuat kita seolah sedang berada di sebuah negri dongeng ketika di sana. Awalnya saya sedikit kecewa karna kabut yang terlalu tebal membuat saya tak bisa mengambil gambar landscape Gunung Sindoro-Sumbing yang ikonik itu dengan sempurna. Untunglah, bunga-bunga chamomile di Gunung Prau saat itu sedang cantik-cantiknya. Tak hanya di area puncak, di sepanjang jalur pendakian saya juga sudah disambut oleh tanaman liar namun cantik itu.

Perjalanan ke puncak Gunung Prau sendiri tidak terlalu berat walaupun tak bisa dibilang gampang. Rata-rata, butuh waktu sekitar 3-4 jam untuk sampai ke puncak Gunung Prau. Saya dan teman-teman membutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk sampai ke puncak. Itu adalah pertama kalinya saya ke Gunung Prau. Pengalaman yang tak sempurna tapi menyenangkan. Seperti biasa, gunung membuat saya merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta.