Akhir-akhir ini banyak sekali festival jazz di Indonesia. Mulai dari Jazz Gunung di Bromo, Jazz Atas Awan di Dieng, Ijen Summer Jazz di Banyuwangi, Ngayogjazz di Jogja serta — yang paling baru — Karimunjawa Sunset Jazz di Karimunjawa.

Kota Solo — yang notabene merupakan kota budaya — juga punya festival jazz sendiri. Solo City City Jazz namanya. Event ini sudah ada sejak tahun 2009 dan rutin diadakan setiap tahun. Tahun ini, Solo City Jazz dilaksanakan tanggal 30 September dan 1 Oktober.

Dalam sejarahnya, Solo City Jazz memang jarang mendatangkan banyak bintang jazz. Mungkin karna skala festival ini tidak terlalu besar (setidaknya kalau dibandingkan Jazz Gunung). Namun, selalu ada satu bintang tamu yang memeriahkan acara. Dan tahun 2016 ini bintang tamu Solo City Jazz adalah Tompi.

Kata orang musik jazz itu segmented. Hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu. Apalagi di Indonesia yang kebanyakan lebih menyukai musik pop dengan nada minor. Kalau boleh jujur, telinga saya sebenarnya juga kurang cocok sama musik jazz. Dalam keseharian, saya jarang sekali memutar musik jazz. Pengetahuan saya tentang musik ini juga payah. Saya hanya tahu beberapa musisi jazz macam Tompi, Glenn Fredly, Shandy Sandoro dan Maliq n D’essential (itupun lewat lagu Pilihanku yang nggak ngejazz-ngejazz amat). Standard banget, kan?.

Musisi jazz luar negeri? Blank. Tak ada yang saya kenal.

Tapi itu semua tak menghalangi niat saya untuk menonton Solo City Jazz 2016. Ini sebenarnya lebih ke pelampiasan rasa kecewa karna bulan Agustus lalu saya gagal nonton Jazz Atas Awan di Dieng Culture Festival.

20161001_202955

Sabtu malam, 1 Oktober 2016 sekitar jam 19.00 saya sudah tiba di venue Solo City Jazz, Taman Balekambang. Suasana masih serba payung karna beberapa hari sebelumnya taman ini juga dijadikan venue Festival Payung. Kata salah satu panitia, acara akan dimulai jam 8. Saya sibuk mencari spot terbaik untuk menyaksikan acara. Hujan baru saja berhenti sore tadi, Taman Balekambang terlihat becek di banyak titik. Sebenarnya ada banyak sekali kursi yang tersedia. Cuman, kursi-kursi itu rupaya diperuntukan bagi tamu undangan sehingga penonton biasa seperti saya tak boleh duduk, kecuali setelah pukul 8.

Jam 8 malam. Acara sudah akan dimulai. Seperti yang dikatakan panitia, setelah jam 8 penonton boleh duduk di kursi yang tersedia. Seketika, para penonton yang tadinya berdiri langsung bejubel rebutan kursi. Saya kurang beruntung karna tak kebagian.

Ada 4 sesi di Solo City Jazz 2016 pada hari kedua semalam. Sebagai bintang tamu, Tompi tentu saja akan tampil terakhir.

Solo City Jazz 2016 dibuka oleh kelompok musik jazz lokal Solo, Aditya Ong Qwartet yang menyajikan musik jazz secara instrumental, tanpa vokal. Lagu daerah Cublak-Cublak Suweng dibawakan sebagai lagu pembuka, tentu saja dengan irama jazz. Aditya Ong Kwartet sendiri menampilkan sekitar 4 lagu. Selain Cublak-Cublak Suweng, lagu daerah lain yang dibawakan oleh band ini adalah Halo-Halo Bandung. Semua dibawakan dengan irama jazz. Meski tak ngerti-ngerti amat soal jazz, saya sangat menikmati pertunjukan dari band lokal solo ini. Supaya tidak terlihat polos, sesekali kepala saya goyangkan ke kiri dan ke kanan sambil mulut komat-kamit pura-pura nyanyi :)).

img20161001224519

Berikutnya ada penyanyi jazz yang kalau tidak salah berasal dari ibukota, Iza Nael beserta band-nya. Ada satu hal yang menyita perhatian saya dan semua penonton ketika band ini naik ke atas panggung. Yakni sang drummer yang umurmnya ternyata masih 11 tahun, lebih mudah dari JP Millenix. Karna sebelumnya belum pernah menton pertunjukan mereka, saya tak punya ekspektasi apa-apa sama penampilan Iza Nael and the band. Dari sekitar 4 lagu yang mereka dibawakan, hanya dua lagu yang pernah saya dengar: Kesempurnaan Cinta (Rizky Febian) serta This Love (Maroon 5).

Sesi ketiga diisi oleh kolaborasi gitaris Tesla Manaf, penari Dhea Fandari serta pemain flute asal Spanyol Rodrigo Parejo. To be honest, saya kurang bisa menikmati sesi ini. Selain karna kelewat melow — yang membuat kaki saya semakin pegal — porsi art-nya seperti terlalu berlebihan sehingga cenderung kurang menghibur. Tapi yah, begitulah. Namanya juga seni.

Solo City Jazz 2016 ditutup oleh Tompi and the band. Sebenarnya saya bukan termasuk salah satu penggemarnya. Bahkan ketika melihat dia tampil di MTV dulu, saya lebih sering mengganti channel karna menurut saya lagunya aneh.

img20161001224604

Tapi, menyaksikan Tompi perform secara live ternyata sama sekali berbeda dengan yang di tv. Tompi ternyata orangnya suka becanda, berkali-kali ia menyapa penonton dengan candaan-candaan yang mencairkan suasana.

Ada beberapa part yang saya suka dari penampilan Tompi di Solo City Jazz 2016 semalam.

 

Ketika dia mengajak salah satu penonton untuk naik ke panggung dan bernyanyi bersama

Tompi membuka show dengan lagu hitsnya, Sedari Dulu. Penonton begitu menikmati nuansa jazz di lagu ini. Ada satu hal yang tak saya duga. Di lagu ketiga, Tompi menantang salah satu penonton naik ke atas panggung untuk berduet dengannya. Salah satu penonton yang saya lupa namanya naik ke atas panggung untuk membawakan lagu Menghujam Jantungku. Kalian tahu apa yang dilakukan si penonton ini?.

Dia membuat surprise untuk sang istri yang kebetulan juga ikut nonton. Dia bilang kalau lagu Menghujam Jantungku yang akan dibawakan besama Tompi dipersembahkan special untuk sang istri tercinta. Romantis banget nggak, sih? :’).

 

Ketika dia “bermain-main” dengan mulutnya

Tompi dikenal sebagai penyanyi yang sering berimprovisasi dengan mulutnya. Semacam beatbox tapi bukan beatbox. Di Solo City Jazz 2016 Tompi juga memamerkan skillnya ini. Suaranya kadang melengking, membuat penonton tak bisa mengikuti ketika ia mengajak para penonton untuk sing along.

Improvisasi mirip beatbox ini mengingatkan saya pada konser Bondan Prakoso and Fade2Black. Tito (salah satu rapper Fade2Black) juga sering melakukan hal yang sama ketika tampil.

Improvisasi permainan drum yang begitu menggoda dari Echa Soemantri

Tompi tampil bersama band-nya. Di posisi drummer ada Echa Soemantri yang tadi malam benar-benar all out. Ia banyak sekali melakukan improvisasi yang membuat saya speechless. Echa Soemantri tidak memamerkan emosi dan tenaga yang meluap-meluap ketika menggebuk floor tom atau cymbal seperti yang sering dipamerkan drummer musik rock. Ia memamerkan seni. Tangannya lincah sekali menggebuk masing-masing instrument drum. Pokoknya keren. Sulit diceritakan.

Permainan drum Echa sering ditantang duel oleh permainan mulut Tompi yang menghasilkan pertunjukan yang memukau. Kalau dalam waktu dekat mereka tampil di Solo atau Jogja lagi, saya pasti akan menonton.

Overall, sajian Solo City Jazz 2016 tadi malam benar-benar menghibur dan meriah. Tapi, ada satu hal yang mengganjal di pikiran saya yakni perihal pemilihan lokasi. Setelah sebelumnya juga digunakan sebagai venue Festival Payung, sepertinya Taman Balekambang akan membutuhkan perawatan ekstra untuk menumbuhkan rumput-rumput yang mulai rusak.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah.