Ada salah satu impian kecil saya yang akhirnya bisa terwujud: Berkunjung ke Desa Sade. Kenapa saya ingin sekali ke desa ini? Simple saja, karna penasaran.

Sejak kunjungan pertama ke Lombok sekitar tiga tahun lalu, saya langsung takjub dengan pulau ini. Setibanya di rumah, saya semakin rajin mencari tahu tentang segala sesutu yang berhubungan dengan Lombok. Dari beberapa artikel yang saya baca, saya tahu bahwa pulau ini dihuni oleh suku asli bernama Suku Sasak.

Pertanyaannya, di manakah kita bisa melihat kehidupan asli Suku Sasak yang masih memegang teguh tradisi dari leluhurnya?.

Salah satu tempat yang bisa kita kunjungi jika ingin tahu keseharian Suku Sasak adalah desa adat. Di Lombok sendiri ada beberapa desa adat. Salah satu yang paling mudah diakses adalah Desa Sade.

Sade sebenarnya merupakan sebuah dusun yang berada di Desa Rimbitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Lokasi desa adat ini berada di tepi jalan raya yang menuju beberapa pantai di Lombok Tengah seperti Mawun, Kuta dan Selong Belanak. Ketika kembali berkunjung ke Lombok beberapa hari lalu, sayapun tak melewatkan kesempatan untuk berkunjung ke Desa Sade guna menuntaskan rasa penasaran.

sade-1

Cuaca pada siang hari terasa cukup panas di desa yang tidak terlalu luas ini. Untuk masuk ke desa kita harus ditemani oleh seorang pemandu lokal yang merupakan penduduk Desa Sade. Mereka selalu stand by di tempat parkir dan menghampiri para pengunjung yang datang sembari menawarkan jasa guide.

Siang itu, saya ditemani oleh Mas Yono, seorang pemuda Desa Sade yang sedang menjalani usianya yang ke-25. Mas Yono — sebagaimana masyarakat Suku Sasak pada umumnya — memiliki perawakan sedang dengan kulit sawo matang cenderung hitam. Untuk jasa guide, Mas Yono (dan yang lainnya) tidak mengenakan tarif khusus. Kita bisa memberi mereka uang tip berapapun, asalkan pantas.

sade-2

Oleh pemerintah Propinsi NTB, Desa Sade sudah ditetapkan sebagai desa wisata. Namun, pengelolaan wisata di desa ini di-handle sendiri oleh warga desa. Masyarakat Desa Sade tidak memberlakukan tiket masuk. Sebagai gantinya, kita harus ditemani oleh warga setempat.

Hari itu saya sedang beruntung. Setibanya di pelataran desa, ternyata sedang berlangsung pertunjukan tari tradisioal. Pertunjukan tari seperti ini tidak berlangsung setiap saat. Mereka hanya akan tampil jika ada tamu khusus atau dipesan oleh agensi wisata. Siang itu, ternyata ada sebuah agensi wisata yang sedang menemani beberapa turis asing. Beberapa bule tampak serius menikmati tarian yang disajikan. Sementara beberapa fotografer tampak siaga dengan kamera masing-masing.


Mas Yono mempersilakan saya dan teman-teman untuk menikmati pertunjukan tari tradisional ini sebelum melanjutkan perjalanan menjelajahi Desa Sade. Sesekali, ia memberikan penjelasan tentang tari yang sedang berlangsung. Salah satu tarian yang dipertontonkan siang itu adalah Presean. Jujur, saya lebih melihat Presean ini sebagai sebuah pertarungan dari daripada tari. Kok bisa?

Ada dua orang yang dibekali dengan sebuah tameng serta batang rotan. Batang rotan digunakan untuk saling memukul antara kedua penampil. Bagian tubuh mana saja boleh dijadikan sasaran, kecuali bagian kemaluan. Sedangkan tameng digunakan untuk melindungi diri dari serangan lawan. Jika ada salah satu dari kedua orang ini yang lari atau terjatuh, maka ia akan dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Pukulan mereka tak main-main. Saya sampai ngeri sendiri melihat pertunjukan ini.

sade-3

Presean sendiri dulu digunakan sebagai media melatih kemampuan bertarung para lelaki Suku Sasak. Seiring dengan kemajuan jaman, tradisi ini sudah jarang dilakukan.

Usai pertunjukan, Mas Yono mengajak saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan. Berjalan beberapa langkah, Mas Yono kemudian berhenti. Rupaya ia ingin memberikan kami sedikit cerita. Menurut cerita Mas Yono, Desa Sade dihuni oleh 150 kepala keluarga (maaf kalau salah ingat). Masing-masing bangunan rumah yang ada di desa kecil ini menggunakan bahan dari alam. Atapnya terbuat dari alang-alang sedangkan bagian dinding terbuat dari kayu serta bambu.

sade-4

Yang unik, lantai di masing-masing rumah terlihat seperti terbuat dari semen, padahal tidak. Lantai di masing-masing rumah di desa ini murni terbuat dari tanah liat. Rupanya, ada rahasia khusus kenapa lantai (dan juga tembok) tersebut terlihat seperti lantai semen. Masyarakat Suku Sasak punya kebiasaan mengepel lantai rumah mereka dengan kotoran sapi (iya, kotoran sapi). Kegiatan ini biasa dilakukan saat pagi hari. Entah bagaimana ceritanya sehingga kotoran sapi itu bisa membuat lantai rumah mereka menjadi demikian. Yang jelas, ketika masuk ke salah satu rumah, tidak ada bau kotoran sama sekali.

Tidak ada toilet atau kamar mandi yang akan kita temukan di masing-masing rumah di Desa Sade. Masyarakat biasanya menggunakan kamar mandi umum yang terdapat di dua titik. Masing-masing rumah di Desa Sade (yang disebut dengan Bale Tani) terdiri atas dua bagian utama yakni depan dan belakang. Bagian belakang berada di sebuah undakan yang dihubungkan oleh tiga buah anak tangga. Tiga anak tangga ini menyimbolkan Watu Telu, yakni kepercayaan Suku Sasak sebelum masuknya Islam. Bagian belakang rumah berfungsi sebagai dapur sekaligus kamar tidur. Bagian depan juga berfungsi sebagai tempat tidur, tanpa ruang tamu.

sade-5

Seluruh warga di Desa Sade sendiri merupakan satu rumpun keluarga karna dalam tradisi mereka, pernikahan harus dilakukan dalam lingkup keluarga untuk melestarikan tradisi. Dengan catatan, bukan saudara kandung.

Mereka tidak mengenal istilah tunangan, melamar atau semacamnya. Jika seorang lelaki hendak mengajak nikah seorang wanita yang ia suka, ia cukup menculik wanita yang bersangkutan. Lah?

Jadi begini, tradisi “menculik” ini merupakan tradisi turun temurun yang sudah dilakukan sejak jaman nenek moyang Suku Sasak. Saat seorang lelaki menculik seorang anak gadis selama dua hari lamanya, itu menjadi sebuah kode untuk orang tua si gadis bahwa ia bermaksud untuk mempersunting anaknya. Namun, si lelaki harus merasahasiakan tempat pesembunyian si gadis karna jika ketahuan biasanya akan diambil oleh orang tua yang bersangkutan.

Mas Yono

Mas Yono

Jika sudah diculik, orang tua si anak gadis mau tak mau harus merestui anak gadisnya menikah. Saya sempat bertanya kepada Mas Yono apakah dia sudah sudah menikah. Dengan sedikit malu, ia menjawab “belum. belum menculik”.

Lalu, muncul pertanyaan lagi. Bolehkan warga Desa Sade menikah dengan orang luar?. Ternyata boleh. Hanya saja mas kawinnya cukup mahal yakni tiga ekor kerbau. Sudah begitu, mereka akan diminta untuk meninggalkan Desa Sade dan mencari kehidupan baru di luar sana.

Desa Sade sendiri saat ini sudah mulai “berkembang”. Selain rumah-rumah tradisional, ada beberapa pemukiman yang lebih modern di sekitarnya. Kata Mas Yono, perkampungan modern yang ada di sekitar Desa Sade ini juga dihuni oleh orang-orang yang dulunya tinggal di Desa Sade.

Meski tinggal di sebuah desa adat, pendidikan rupanya juga menjadi hal yang sangat diperhatikan oleh warga desa. Kata Mas Yono, ada beberapa anak muda sebayanya yang bahkan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Saat sedang berjalan menelusuri desa dan bertemu dengan rombongan mahasiswa, Mas Yono memberi tahu saya bahwa rombongan tadi merupakan teman-teman kampus dari teman Mas Yono yang merupakan penduduk Desa Sade yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Mataram. Mas Yono sendiri merupakan seorang tamatan SMA.

Jujur saya senang mendengar cerita dari Mas Yono. Meskipun tinggal di desa adat mereka tetap mementingkan pendidikan. Saya juga kagum karna pendidikan yang mereka dapatkan tidak serta merta membuat Mas Yono dan teman-temannya meninggalkan desa begitu saja.

sade-8

Hari mulai menjelang sore. Setelah menelusuri setiap sudut desa dan belajar banyak hal dari Mas Yono, saya pun pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Pantai Selong Belanak.