Sejak kecil saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari saya akan mendaki gunung. Sama sekali tidak. Bahkan ketika telah menjadi mahasiswa pun, mendaki gunung tidak pernah masuk dalam daftar impian saya.

Malahan saya pernah membuat kesimpuan ngasal bahwa anak-anak mapala adalah orang-orang yang arogan, anarkis dan tidak menghargai orang lain. Itu karna saya sering melihat salah satu teman sekelas yang setiap kali mengikuti kuliah selalu mengenakan kaos oblong, sendal gunung serta tas selempang. Jarang sekali teman saya ini membawa binder saat kuliah. Kebetulan, teman saya ini ikut organisasi mapala.

Sampai suatu ketika ada seorang teman, Zaki, yang tiba-tiba mengajak mendaki Gunung Merapi pada awal 2013. Entah kenapa, saya merasa tertantang sekali waktu itu. Mungkin juga karna ajakan itu datang pada waktu yang pas ketika pikiran saya sedang cukup kacau. Katanya, mendekatkan diri dengan alam akan membuat pikiran kita menjadi lebih tenang. Saya ingin mencobanya.

Saya benar-benar tak tahu apa-apa soal pendakian pada waktu itu. Sleeping bag, shelter, Pasar Bubrah. Semua terasa asing bagi saya. Perlengkapan mendaki saya jelas tak punya. Sebelum hari yang ditentukan tiba, saya sibuk cari pinjaman sana-sini. Kecuali pakaian dalam dan celana kargo (kebetulan saya punya satu celanan kargo), semua yang saya bawa adalah hasil pinjaman dari teman.

Awal tahun 2013 Gunung Merapi masih sangat sepi. Saat tiba di base camp Selo, hanya ada dua rombongan pendaki yang saya temui. Salah satu rombongan – yang hanya terdiri dari orang – berasal dari Garut. Saya masih ingat nama mereka, Rosi dan Tedi. Tampaknya mereka adalah sepasang kekasih, saya tak berani tanya lebih jauh.

Pasar Bubrah, Gunung Merapi

Pasar Bubrah, Gunung Merapi

Setelah menyantap sepiring nasi telur serta segelas teh manis hangat, saya dan Zaki mulai melangkahkan kaki untuk memulai pendakian. Dengan gaya yang sok asik, saya pamit ke Tedi dan Rosi yang disambut dengan senyuman ramah penuh hangat.

Isi carrier saya sebenarnya tidak banyak. Hanya ada dua botol air mineral 1500 ml, pakaian ganti, sleeping bag serta makanan ringan. Tapi entah kenapa terasa berat sekali. Belum sampai di New Selo saja langkah saya sudah gontai. Kaki mulai terasa pegal sepegal-pegalnya. Pundak juga rasanya mulai panas. Berkali-kali saya membetulkan posisi carrier supaya terasa lebih nyaman. Sama saja, pundak tetap saja panas. Sementara Zaki – yang sudah sering naik gunung – terlihat baik-baik saja. Saya mulai ragu apakah nanti bisa sampai puncak atau tidak.

merapi

kelelahan

Rencananya, kami akan bermalam di Pasar Bubrah supaya paginya bisa menikmati pemandangan sunrise di puncak. Perjalanan dari Pasar Bubrah ke puncak memang relatif sebentar. Kurang dari satu jam. Namun, melihat kondisi fisik saya yang mulai kacau, tampaknya kami harus mengubah rencana. Dan memang, malam itu kami tidak jadi bermalam di Pasar Bubrah. Kami memutuskan untuk mendirikan tenda di sebuah spot sempit dekat Watu Belah. Esoknya baru kami akan bangun pagi-pagi buta untuk mengejar sunsrise di Pasar Bubrah.

Apa yang saya alami ini sebenarnya wajar. Track Gunung Merapi memang tergolong jahat untuk para pendaki pemula seperti saya. Tracknya curam dan lempeng. Jarang sekali ditemukan track datar di Gunung Merapi. Tanpa sempat membuat minuman hangat, saya langsung merebahkan diri di tenda dan membungkus diri dengan sleeping bag. Legaaa.

img_20130327_091215

Tenda yang kami dirikan

Menjelang subuh, kami sudah bangun. Tentu saja dengan bantuan alarm. Supaya tidak memberatkan, kami sengaja membawa barang seperlunya. Tenda kami biarkan tetap berdiri. Sebagian besar barang bawaan kami tinggal di dalam tenda. Saat naik, kami hanya membawa satu carrier berisi air mineral serta makanan ringan. Track menuju Pasar Bubrah dari Watu Belah sama beratnya. Batu-batu vulkanik mulai menyapa perjalanan, membuat kami harus berhati-hati supaya tidak terpeleset. Untuk melakukan pendakian pada malam hari, masing-masing orang harus punya alat penerangan sendiri, tidak boleh joinan. Beruntung sekali karna waktu itu saya dapat pinjaman senter gunung yang bisa di-zoom in dan zoom out!

Gunung Merbabu dari lereng Puncak Merapi

Gunung Merbabu dari lereng Puncak Merapi

Beberapa jam melakukan perjalanan akhirnya kami sampai di Pasar Bubrah. Inilah tempat yang paling saya sukai dari Gunung Merapi. Gunung yang satu ini memang tidak punya padang sabana seperti tetangganya, Merbabu. Namun, keberadaan Pasar Bubrah ini menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Tempat ini merupakan alun-alun yang dipenuhi oleh bongkahan batu-batu vulkanik dengan berbagai ukuran. Ada yang seukuran kerikil, ada yang seukuran angkot. Random. Dari sini kita bisa melihat pemandangan Gunung Merbabu yang terlihat gagah sekali. Tempat ini sangat gersang. Kalau siang panasnya bukan main.

Pemandangan sunrise di Gunung Merapi dari Pasar Bubrah

Pemandangan sunrise di Gunung Merapi dari Pasar Bubrah

Sebaliknya, Pasar Bubrah akan berubah menjadi tempat yang sangat dingin saat malam hari. Ditambah dengan angin yang sering bertiup kencang. Katanya, di tempat ini sering terjadi badai. Saya pernah satu kali bermalam di Pasar Bubrah pada Agustus 2014. Udaranya benar-benar dingin, anginnya juga cukup kencang. Di Pasar Bubrah terdapat sebuah menara yang digunakan untuk keperluan pengamatan aktivitas Gunung Merapi yang beberapa waktu lalu sempat dirusak oleh pendaki usil.

Di Pasar Bubrah kami kembali bertemu dengan Tedi dan Rosi. Selain kami berempat, tidak ada pendaki lain yang melakukan perjalanan ke puncak hari itu. Sesuatu yang sepertinya jarang sekali kita temui akhir-akhir ini. Dalam perjalanan menuju puncak, kami sempat bertemu dengan rombongan bule ditemani seorang pemandu lokal yang sedang melakukan perjalanan turun. Setelahnya, tidak ada rombongan lain yang kami temui. Benar-benar momen yang menyenangkan ketika mendaki gunung dalam suasana sepi seperti itu. Feel nya benar-benar dapet.

Menuju puncak. Asap belerang mulai menutupi sebagian track

Menuju puncak. Asap belerang mulai menutupi sebagian track

Hari itu, Puncak Merapi terbungkus oleh asap yang cukup pekat. Bukan asap hasil pembakaran tentu saja. Melainkan asap belerang. Kami hanya beberapa menit saja berada di puncak. Setelah mengambil foto secukupnya, kami harus buru-buru turun karna bau belerang yang semakin menyengat. Waktu itu saya sempat parno gara-gara beberapa hari sebelumnya membaca kisah Su Hok Gie yang meninggal di Gunung Semeru akibat menghirup gas beracun. Untunglah, saya baik-baik saja dan bisa kembali pulang dengan selamat tak kurang suatu apapun.

Sejak saat itu, saya jarang sekali menolak jika ada teman yang mengajak untuk mendaki. Saya belajar banyak sekali hal dari pendakian pertama ke Gunung Merapi. Tentang alam yang luas, tentang manusia yang bagaikan biji sawi di tengah samudra di hadapan semesta, tentang kuasa Tuhan yang tak terbatas.