Jum’at 21 Juni 2019. Jam di stasiun Purwosari menunjukkan sekitar pukul setengah sebelas siang ketika saya sedang mengisi formulis pemesanan kereta. Hari itu, saya hendak memesan kereta Prameks (kereta lokal Solo-Jogja) untuk keberangkan keesokan harinya (Sabtu 22 Juni 2019). Saya harus memesan tiket satu hari sebelumnya karna biasanya tiket Prameks akan habis saat weekend. Apalagi kalau kita belinya on the spot. Kemungkinan untuk dapat tiket adalah satu banding seribu. Beberapa hari sebelumnya, saya sudah merencanakan untuk menyusuri jalanan Maliboro. Menyaksikan aktivitias manusia sembari mengambil beberapa foto kalau ada momen atau objek yang menarik.

Siang itu antrian cukup panjang. Saya mendapat nomor antrian di atas angka seratus. Karna siang itu adalah hari Jum’at, saya khawatir bahwa saya akan ketinggalan sholat Jum’at jika harus tetap mengantri. Pikiran saya tak tenang selama menunggu nomor antrian. Kondisi semakin dilematis ketika nomor antrian semakin berkurang. Mendekati giliran nomor antrian saya dipanggil, waktu juga semakin mendekati adzan dhuhur. Saya sudah bisa menyimpulkan bahwa jika tetap menunggu antrian, saya akan ketinggalan sholat Jum’at.

Waktu itu, tepat di depan saya duduk ada sekolompak pemudi yang juga sedang menunggu antrian. Saya tanya kepada mereka berapa nomor antrian yang mereka punya. Ternyata berjarak beberapa nomor dari nomor antrian yang saya punya. Seketika itu, saya menawarkan untuk saling tukar nomor antrian. Pertukaran yang saling menguntungkan. Mereka bisa mendapatkan tiket lebih cepat dengan nomor antrian saya, sedangkan saya bisa melaksakan kewajiban sholat Jum’at. Sebuah keajaiban kecil terjadi setelah itu. Usai sholat Jum’at di masjid PLN dekat Stasiun Purwosari, saya langsung bergegas menuju stasiun untuk menunggu nomor antrian yang tadi sudah saya tukar. Begitu tiba, nomor antrian yang saya pegang langsung dipanggil sehingga saya tak perlu duduk untuk menunggu antrian lagi. Lega rasanya. Sejak saat itu, saya percaya bahwa selama tujuan kita baik, Tuhan akan selalu memberi jalan. Bahkan jika itu adalah hal kecil seperti yang baru saja saya alami. Siang itu, saya hanya membeli tiket berangkat ke Malioboro. Saya tak membeli tiket pulang ke Solo karna jadwal terakhir kereta dari Jogja ke Solo adalah jam 20:02 WIB sementara saya akan pulang lebih malam dari itu (pada akhirnya saya memilih untuk menginap di kos teman dan pulang keesokan harinya).

Musisi jalanan sedang beraksi

Dalam lagunya, Yogyakarta, Kla bilang bahwa Jogja tak pernah berubah. Ia masih seperti dulu, tiap sudut menyapa dengan selaksa makna.

Jogja memang tak pernah berubah. Meskipun kita telah lama meninggalkan Jogja, ia akan tetap memberikan suasana yang sama begitu kita kembali. Kita akan tetap bisa menyaksikan para seniman jalanan beraksi dengan gitar-gitar tua atau angklung mereka.

Jogja memang tak lepas dari seniman jalanan. Dan salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan “aksi panggung” para seniman jalanan adalah Malioboro. Malam itu, Sabtu 22 Juni 2019, saya mengunjungi Jalan Maliboro entah untuk yang ke berapa kali. Saya datang sendiri, tanpa siapa-siapa. Malam itu, saya ingin menyaksikan aktivitas manusia di Malioboro sekaligus melepas penat setelah hari-hari yang cukup melelahkan sepanjang Senin hingga Jumat. Saya ingin menyusuri jalan Maliboro dari ujung utara hingga Titik Nol.

Malam itu adalah beberapa minggu dari Hari Raya Idulfitri. Anak-anak sekolah juga masih belum masuk sehingga suasana liburan masih sangat terasa. Maliboro benar-benar penuh sesak dengan manusia. Jika kamu pernah menonton konser musik Slank, Iwan Fals atau Sheila on 7, kira-kira seperti itulah suasana di jalan Maliboro malam itu. Rama sekali.

Penjual sate ayam

Malam itu saya benar-benar seperti menjadi aktor utama dalam lagu Yogyakarta: menyaksikan para musisi jalanan sedang beraksi walau tidak dengan hati yang lara. Musisi pertama yang saya saksikan malam itu adalah sepasang tuna netra yang sedang manyanyikan sebuah lagu dangdut dengan nadanya yang melankolis. Entah bagaimana awalnya, Jalan Maliboro seperti telah menjadi tempat bagi para penyanyi tuna netra untuk menyalurkan hobi sekaligus mengumpulan recehan rupiah. Dari ujung utara hingga ujung selatan di Titik Nol, kita akan menemukan banyak penyanyi tuna netra. Uniknya, kebanyakan dari mereka tampil berduet dengan pasangan masing-masing. Melihat mereka yang tetap berusaha meski dengan sebuah keterbatasan, kadang saya malu sendiri. Saya sekaligus bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan panca indera yang lengkap kepada saya. Saya tak bisa membayangkan seandainya ada di posisi mereka.

Berjalan sekitar 10 menit, saya mulai mengeluarkan kamera dari dalam tas. Tak ada objek khusus yang ingin saya potret. Saya hanya ingin memotret aktivitas manusia. Malam itu, saya sekaligus ingin menunjukkan kepada diri saya sendiri bahwa hidup ini tidak selalu tentang diperhatikan. Seharusnya, memperhatikan itu jauh lebih penting karna ada miliaran manusia dibandingkan kita yang hanya ada satu.

Penjual mainan tradisional

Saya sempat memotret seorang bapak penjual mainan tradisional. Ada kejadian yang cukup unik pada momen ini. Ketika memotret si bapak, saya pura-pura mengarahkan lensa ke arah lain supaya si bapak tidak sadar bahwa dirinya dipotret. Tapi akhirnya si bapak tahu juga bahwa dirinya sedang menjadi objek foto. Saya sempat khawatir bahwa si bapak akan marah karna saya mengambil gambar dirinya tanpa ijin. Ternyata tidak. Si bapak bahkan meminta saya mengambil gambar dirinya sekali lagi. Kali ini dengan sedikit pose.

Perjalanan saya malam itu berakhir di Titik Nol. Sebagaimana biasanya, setiap malam Minggu selalu ada acara di Titik Nol. Saya cukup beruntung karna malam itu ada pertunjukan seni gratis. Beberapa mahasiswa dari beberapa kampus di Jogja menampilkan pertunjukan seni dalam rangka penggalangan dana untuk musibah banjir di Sulawesi.